LABUAN BAJO, FBC. Pulau Flores di Propinsi Nusa
Tenggara Timur terkenal dengan kekayaan sumber daya alam dan budayanya.
Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta untuk
memajukan daerah yang dikenal dengan sebutan nusa bunga ini.
Flores memang dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata. Sebut
saja beberapa obyek wisata yang terkenal seperti danau tri warna
Kelimutu di Kabupaten Ende, tradisi penangkapan ikan paus di Lamalera,
Kabupaten Lembata dan binatang purba Komodo (Varanus Komodoensis) di
pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Pemerintah dan swasta telah mulai bekerja memajukan dunia
kepariwisataan di pulau ini. Sejak tahun 1990-an ada proyek pengembangan
Taman Wisata Alam (TWA) yang didanai oleh Bank Dunia. Program tersebut
cukup berhasil mempertahankan kelestarian alamFlores.
Pariwisata juga mempunyai potensi besar untuk memperluas lapangan
kerja dan mendorong perkembangan bidang usaha baru. Tiap-tiap komponen
produk wisata membutuhkan tenaga ahli dan tenaga-tenaga terlatih dalam
menghadapi tantangan globalisasi dibidang kepariwisataan.
Upaya memperkenalkan kekayaan kepariwisataan di pulau ini terus
dilakukan. Sebut saja, salah satu usaha mempromosikan dunia
kepariwisataan yakni melalui penerbitan buku The Manggaraians-Guide to the Manggaraian life Style dan Tourism Space inWestern Floresand Understanding Touris karangan Dr. Maribeth Erb.
Produk wisata berupa rencana perjalanan yang dikemas dari berbagai
jenis komponen seperti atraksi wisata, transportasi, akomodasi,
restoran, cindera mata, pramuwisata dan jasa-jasa lain yang dinikmati
atau dialami oleh para wisatawan. Komponen-komponen tersebut di atas
mempunyai sub-sub komponen misalnya komponen hotel dengan sub komponen
tempat tidur, kamar mandi, TV, air, listrik dan lain-lain. Setiap
komponen saling terkait dengan komponen lainnya.
Akomodasi yang bersifat komersial pun mulai bermunculan. Hotel dan
restouran yang menyediakan berbagai kebutuhan para pelancong.
Transportasi pun tidak lagi menggunakan kuda, tetapi sudah beralih ke
fasilitas yang lebih modern.Sedangkan transportasi di laut sudah
menggunakan kapal-kapal yang lebih besar.
Pasa zaman ini, kepariwisataan Flores mengalami perkembangan yang
pesat. Bermacam motif dan keinginan para wisatawan sepertinya dapat
terjawab dengan datang ke Flores. Motif wisatawan yang beruba, seperti
terjawab dengan ingin menikmati atraksi alam, flora, fauna, pemandangan
alam, keindahan bawah laut, pantai, gunung dan lembah atau sekedar
menikmati sinar matahari.
Guncangan Budaya
Di satu sisi globalisasi membawa dampak positif bagi kemajuan dan
kesejahteraan namun di lain sisi globalisasi mendatangkan
pengaruh-pengaruh negatif. Pertemuan antara kebudayaan yang berbeda-beda
akan banyak menimbulkan kegoncangan budaya yang pada gilirannya dapat
menggerogoti tatanan nilai kehidupan bersama.
Perkembangan pariwisata sebagai trend global nampaknya tidak bisa
dihindari. Kini industri wisata berkembang sangat pesat dan menjadi
salah satu pemasukan kas daerah yang menjanjikan bagi kesejahteraan
masyarakat.
Gejala sosiologi ‘anomie’ mulai mewabah belakangan ini menunjukkan
betapa pengaruh trend global telah melanda masyarakat Flores. Bukan
tidak mungkin sangat terbuka lebar berbagai pengaruh negatif seperti
narkotika, obat-obatan berbahaya dan seks bebas yang berpeluang
menyebarkan virus HIV/AIDS.
Persoalan bagi kita adalah bagaimana menyiasati berbagai dampak
negatif yang ditimbulkan oleh industri pariwisata. Industri
kepariwisataan harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif.
Masalahnya, setiap komponen selama ini terkesan berjalan
sendiri-sendiri. Padahal, praktisnya setiap komponen harus dapat
bersinergis dan bekerjasama dalam rangka memajukan dunia kepariwisataan
berikut problematiknya.
Setiap pelaku pariwisata seperti pramuwisata misalnya harus memiliki
pengetahuan yang memadai tentang sejarah, kebiasaan, adat istriadat agar
tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam berinteraksi sosial dengan
masyarakat internasional.
Seluruh gambaran tentang perkembangan kepariwisataan mau menunjukkan
kepada kita semua bahwa dunia kepariwisataan diIndonesiapada umumnya
danFlorespada khususnya harus dapat dikelola secara profesional dan
berpijak pada jati diri bangsa yang senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan landasan yang jelas, membuat kepariwisataan kita akan tetap eksis di tengah dunia yang terus berubah.
tak kan ada kehidupan yang menemui kebahagian tanpa cinta dan kasih sayang, dari sang PENCIPTA maupun makhluk ciptaanNYA, syukuri semua dengan indahnya CINTA maka kehidupan bahagia akan kita dapatkan,,
Pendidikan di Pesisir
INDONESIA merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.506 dan garis pantai
81.000 km. Kurang lebih 60% penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan
mata pencaharian utama sebagai nelayan.
Kekayaan hasil laut kita sangat besar, namun belum termanfaatkan secara maksimal dan digunakan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini disebabkan oleh pelaku usaha perikanan yang masih didominasi nelayan, memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, akibat tingkat pendidikan yang rendah (Satria, 2002).
Pendidikan merupakan kunci kemandirian bangsa dan salah satu aspek utama untuk membangun peradaban bangsa. Salah satu dari delapan poin MDGs (Millenium Development Goals) di bidang pendidikan adalah pemerataan pendidikan dasar, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dukungan
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan proses pendidikan dan tingkat pendidikan masyarakat pesisir, khususnya untuk pendidikan menengah atas (SMA sederajat). Karena banyak wilayah pesisir termasuk daerah tertinggal, pemerintah harus memberikan dukungan lebih banyak untuk memajukan daerah pesisir yang tertinggal.
Beberapa faktor yang menghambat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir adalah ketersediaan fasilitas sekolah, akses pendidikan, kualitas tenaga pengajar, dan faktor sosial ekonomi masyarakat. Faktor ketersediaan fasilitas ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah.
Buku-buku pelajaran, alat bantu mengajar, kelengkapan laboratorium, dan fasilitas yang dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar yang maksimal, tidak tersedia atau tidak mencukupi. Faktor kemudahan akses berkaitan dengan kesulitan siswa untuk mencapai sekolah tersebut, karena kebanyakan sekolah menengah atas terletak di kota kecamatan dan harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan masalah tersediri berupa biaya transportasi tambahan yang cukup mahal.
Kebanyakan masyarakat pesisir berpenghasilan terbatas, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat SMA. Faktor kualitas tenaga pengajar juga menjadi kendala. Ketersediaan guru baik dari sisi kuantitas maupun kualitas juga masih terbatas. Biasanya satu guru mengajar beberapa mata pelajaran yang bukan keahliannya. Bahkan, beberapa guru hanya lulusan SMA . Akibatnya, mereka hanya mampu menfasilitasi siswa mencapai hasil belajar sesuai dengan kemampuan seadanya.
Karena itu, pemerintah perlu mengupayakan berbagai kebijakan yang dapat mempercepat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir. (37)
— Triantoro Safaria PhD, dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Kekayaan hasil laut kita sangat besar, namun belum termanfaatkan secara maksimal dan digunakan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini disebabkan oleh pelaku usaha perikanan yang masih didominasi nelayan, memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, akibat tingkat pendidikan yang rendah (Satria, 2002).
Pendidikan merupakan kunci kemandirian bangsa dan salah satu aspek utama untuk membangun peradaban bangsa. Salah satu dari delapan poin MDGs (Millenium Development Goals) di bidang pendidikan adalah pemerataan pendidikan dasar, baik untuk perempuan maupun laki-laki.
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dukungan
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan proses pendidikan dan tingkat pendidikan masyarakat pesisir, khususnya untuk pendidikan menengah atas (SMA sederajat). Karena banyak wilayah pesisir termasuk daerah tertinggal, pemerintah harus memberikan dukungan lebih banyak untuk memajukan daerah pesisir yang tertinggal.
Beberapa faktor yang menghambat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir adalah ketersediaan fasilitas sekolah, akses pendidikan, kualitas tenaga pengajar, dan faktor sosial ekonomi masyarakat. Faktor ketersediaan fasilitas ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah.
Buku-buku pelajaran, alat bantu mengajar, kelengkapan laboratorium, dan fasilitas yang dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar yang maksimal, tidak tersedia atau tidak mencukupi. Faktor kemudahan akses berkaitan dengan kesulitan siswa untuk mencapai sekolah tersebut, karena kebanyakan sekolah menengah atas terletak di kota kecamatan dan harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan masalah tersediri berupa biaya transportasi tambahan yang cukup mahal.
Kebanyakan masyarakat pesisir berpenghasilan terbatas, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat SMA. Faktor kualitas tenaga pengajar juga menjadi kendala. Ketersediaan guru baik dari sisi kuantitas maupun kualitas juga masih terbatas. Biasanya satu guru mengajar beberapa mata pelajaran yang bukan keahliannya. Bahkan, beberapa guru hanya lulusan SMA . Akibatnya, mereka hanya mampu menfasilitasi siswa mencapai hasil belajar sesuai dengan kemampuan seadanya.
Karena itu, pemerintah perlu mengupayakan berbagai kebijakan yang dapat mempercepat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir. (37)
— Triantoro Safaria PhD, dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Langganan:
Postingan (Atom)