Pendidikan di Pesisir

INDONESIA merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.506 dan garis pantai 81.000 km. Kurang lebih 60% penduduk tinggal di wilayah pesisir dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan.

Kekayaan hasil laut kita sangat besar, namun belum termanfaatkan secara maksimal dan digunakan untuk  memajukan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal ini disebabkan oleh pelaku usaha perikanan yang masih didominasi nelayan, memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, akibat tingkat pendidikan yang rendah (Satria, 2002).

Pendidikan merupakan kunci kemandirian bangsa dan salah satu aspek utama untuk membangun peradaban bangsa. Salah satu dari delapan poin MDGs (Millenium Development Goals) di bidang pendidikan adalah pemerataan pendidikan dasar, baik untuk perempuan maupun laki-laki.

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 32 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Dukungan

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memajukan proses pendidikan dan tingkat pendidikan masyarakat pesisir, khususnya untuk pendidikan menengah atas (SMA sederajat). Karena banyak wilayah pesisir termasuk daerah tertinggal, pemerintah harus memberikan dukungan lebih banyak untuk memajukan daerah pesisir yang tertinggal.

Beberapa faktor yang menghambat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir adalah ketersediaan fasilitas sekolah, akses pendidikan, kualitas tenaga pengajar, dan faktor sosial ekonomi masyarakat. Faktor ketersediaan fasilitas ini bisa dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana di sekolah.

Buku-buku pelajaran, alat bantu mengajar, kelengkapan laboratorium, dan fasilitas yang dibutuhkan untuk proses belajar-mengajar yang maksimal, tidak tersedia atau tidak mencukupi. Faktor kemudahan akses berkaitan dengan kesulitan siswa untuk mencapai sekolah tersebut, karena kebanyakan sekolah menengah atas terletak di kota kecamatan dan harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan masalah tersediri berupa biaya transportasi tambahan yang cukup mahal.

Kebanyakan masyarakat pesisir berpenghasilan terbatas, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat SMA. Faktor kualitas tenaga pengajar juga menjadi kendala. Ketersediaan guru baik dari sisi kuantitas maupun kualitas juga masih terbatas. Biasanya satu guru mengajar beberapa mata pelajaran yang bukan keahliannya. Bahkan, beberapa guru hanya lulusan SMA . Akibatnya, mereka hanya mampu menfasilitasi siswa mencapai hasil belajar sesuai dengan kemampuan seadanya.

Karena itu, pemerintah perlu mengupayakan berbagai kebijakan yang dapat mempercepat pencapaian kualitas pendidikan bagi masyarakat pesisir. (37)


— Triantoro Safaria PhD, dosen Fakultas Psikologi  Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar